...
Kabar Perempuan
Komnas Perempuan dan Menko Polhukam Bahas Mekanisme Restorative Justice, Isu Living Law dan Kondisi Krusial Papua

Komnas Perempuan pada tanggal 1 November 2023 melakukan pertemuan dengan Kementrian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) di kantor Kemenko Polhukam di Jalan Medan Merdeka Barat Jakarta Pusat. Pada Pertemuan tersebut Komnas Perempuan menyampaikan sejumlah isu, yaitu: hasil pemantauan tentang praktik keadilan restoratif dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan, living law dalam merespon kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, kebijakan diskriminatif, penyiksaan, serta kondisi perempuan Papua.

Hadir dari Komnas Perempuan, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, Theresia Sri Endras Iswarini-Ketua Sub Komisi Pengembangan Sistem Pemulihan, Maria Ulfah Anshor-Anggota Sub Komisi Reformasi Hukum dan Kebijakan, Rainy Maryke Hutabarat-Ketua Tim Advokasi Internasional dan 5 (lima) orang Badan Pekerja. Sementara dari Komenko Polhukam dihadiri langsung oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD sekaligus pimpinan rapat serta didampingi oleh Mohammad Syafrial-Sesdep Bidang Koordinator Hukum dan HAM, dan Ajar Budi Kuncoro Staf Khusus Bidang Hubungan Lembaga. 

Pemantauan tentang keadilan restorarif di 23  kab/kota di 9 provinsi menemukan bahwa selain di tingkat institusi penegak hukum, praktik serupa juga dilakukan di lembaga sosial seperti lembaga adat dan agama dalam merespon kasus kekerasan terhadap perempuan dengan praktik yang berbeda-beda. Komnas Perempuan berharap kedepannya agar negara menyediakan payung hukum dalam menangani kekerasan terhadap perempuan dengan mekansime keadilan restoratif ini. Selain itu, juga disampaikan hasil kajian tentang living law dalam merespon kasus kekerasan terhadap perempuan di 4 (empat) provinsi yang juga diselesaikan dengan mekanisme adat seperti dalam praktik keadilan restoratif. Selain terhadap sistem peradilan, negara diharapkan memiliki “kontrol” terhadap peradilan diluar sistem peradilan pidana seperti adat, yang sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan prinsip-prinsip penanganan perempuan korban kekerasan. 

Terkait isu penyiksaan, sejak tahun 2023 Komnas Perempuan menjadi lokomotif terkait Kerjasama untuk Penghapusan Penyiksaan (KuPP) bersama Komnas HAM, KPAI, LPSK, ORI dan KND). Kerja sama tersebut mendorong pemerintah untuk meratifikasi Optional Protocol Convention Against Torture dan menerbitkan kerangka kebijakan nasional mengenai mekanisme perlindungan nasional. Kerja sama yang telah dilakukan yaitu pemantauan ke tahanan (lapas dan rutan) maupun serupa tahanan (Rumah Sakit Jiwa (RSJ) serta panti-panti rehabiitasi. Komnas Perempuan juga mendorong interseksi antara CAT dan kekerasan berbasis gender, penyiksaan berbasis gender, disabilitas serta anak. Ke depan, Komnas Perempuan akan menyelenggarakan program pelatihan untuk Aparat Penegak Hukum (APH) terkait aspek penyiksaan seksual sebagaimana diatur dalam Undang-Undang TPKS.

Pada isu pelanggaran HAM masa lalu, Ketua Komnas Perempuan menyampaikan masih menunggu diskusi lebih lanjut terkait perlindungan saksi dan korban untuk memastikan jaminan keamanan bagi  korban utamanya korban kekerasan seksual.  Sementara untuk isu Papua, Komnas Perempuan berpandangan bahwa penanganan Papua memerlukan pendekatan yang berbeda dan memerlukan inisiatif baru yang melibatkan perempuan di tingkat grass root. Disinyalir, para perempuan kehilangan kemampuannya sebagai konsolidator akibat pemekaran. Terakhir, Komnas Perempuan berharap diskusi-diskusi tentang Papua juga terjadi di luar Papua agar sentimen-sentimen terhadap Papua tidak terulang kembali.

Secara keseluruhan, Komnas Perempuan menyampaikan rekomendasi:

  1. Menerbitkan regulasi nasional tentang keadilan restoratif yang juga terkait penanganan kekerasan terhadap perempuan berbasis gender agar sesuai dengan prinsip-prinsip penanganan kekerasan terhadap perempuan berbasis gender;
  2. Mengkoordinasikan seluruh institusi penegak hukum terkait dengan penyelenggaraan dan kebijakan keadilan restoratif untuk penanganan Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) berbasis gender di internal masing-masing institusi dan antar institusi penegak hukum;
  3. Memastikan agar Peraturan Daerah (Perda) tentang persidangan adat dapat membuka ruang partisipatif, tidak diskriminatif dan tidak menimbulkan praktek politik identitas;
  4. Menjadi motor penyusunan aksi nasional pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia yang dapat ditinjau ulang kemajuannya secara berkala;
  5. Kemenko Polhukam menerbitkan payung hukum untuk membatalkan kebijakan-kebijakan diskriminatif yang jumlahnya 305 di tahun 2022 dan tambahan baru sejumlah 30 kebijakan diskriminatif di tahun yang sama. Setengah dari aturan diskriminatif tersebut merupakan kebijakan mengenai busana;
  6. memastikan agar dialog damai melibatkan kepemimpinan perempuan di Papua dan memastikan kasus-kasus terhadap perempuan dapat diselesaikan.

Menanggapi seluruh rekomendasi tersebut, Menteri Kordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI menyatakan menerima seluruh rekomendasi dan akan menindaklanjutinya. Menteri juga menginformasikan bahwa mekanisme keadilan restoratif memang memerlukan regulasi nasional dan untuk pembahasannya akan melibatkan Komnas Perempuan termasuk dalam pembahasan terkait living law. Terkait kebijakan diskriminatif, menteri juga menyepakati pentingnya terobosan dalam hal pembatalan kebijakan-kebijakan diskriminatif. Selanjutnya untuk isu penyiksaan, ratifikasi CAT, dan Papua, menteri berkomitmen akan menjadi motor penggerak untuk penyelenggaraan dialog damai di luar Papua, melibatkan lebih banyak lagi perempuan dan juga mengawal isu-isu penyiksaan dan ratifikasi OP-CAT.

 


Pertanyaan / Komentar: