...
Kabar Perempuan
Komnas Perempuan Dorong RPP Living Law Inklusif dan Melindungi Kelompok Rentan


Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendorong Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara dan Kriteria Penetapan Hukum yang Hidup di Masyarakat (RPP Living Law) yang tengah dirumuskan oleh Kemenkum RI dapat bersifat inklusif dan mengakomodasi hak seluruh warga negara, terutama kelompok rentan. Upaya ini disampaikan dalam diskusi publik bertajuk “Urgensi Integrasi Hak Kelompok Rentan Dalam RPP Tentang Tata Cara dan Kriteria Penetapan Hukum Yang Hidup di Masyarakat”, yang diselenggarakan secara hibrid pada Jumat, (20/6/2025) di Jakarta dan Youtube @KomnasPerempuanRI.

RPP Living Law merupakan salah satu peraturan turunan Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berfokus pada pengaturan hukum pidana adat yang nantinya diatur lebih jauh melalui Peraturan Daerah (Perda). Diskusi ini bertujuan untuk menyampaikan rekomendasi terhadap draf RPP yang sedang disusun pemerintah, serta memperbarui informasi terkini mengenai proses perumusannya di tingkat kementerian/lembaga. 


Ketua Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor, dalam sambutannya menegaskan fakta sekurang-kurangnya 400 Perda yang bersifat diskriminatif sehingga perlu pengaturan yang cermat dalam RPP ini. 

“Fungsi RPP ini idealnya tidak hanya sebagai pedoman dalam pemidanaan hukum adat, tetapi juga dapat mencegah potensi kriminalisasi terhadap kelompok rentan,” ujarnya. 

Ia juga menyampaikan bahwa sejak 2023, Komnas Perempuan telah melakukan konsultasi dengan akademisi, Organisasi Perangkat Daerah (OPD), dan masyarakat sipil, dan pada 2024 telah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebagai tanggapan resmi atas RPP kepada Kementerian Hukum dan HAM (saat ini Kementerian Hukum).

Diskusi ini menghadirkan sejumlah narasumber lintas sektor diantaranya Direktur Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Roberia yang memaparkan materi muatan dan timeline pembahasan RPP.

“Materi muatan RPP harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, HAM, dan asas hukum umum. Hukum adat juga dipastikan tidak boleh bertentangan dengan hak perempuan dan konvensi internasional,” ujar pria yang disapa Robe.

Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, RR. Sri Agustini mengusulkan agar merincikan judul RPP menjadi RPP tentang Tata Cara dan Kriteria Penetapan Hukum Pidana Adat. RPP ini akan menjadi dasar dalam penyusunan peraturan daerah yang memuat hukum pidana adat. Ia menekankan pentingnya memastikan perlindungan bagi korban, serta memastikan keterlibatan kelompok rentan dalam seluruh prosesnya, mulai dari identifikasi, validasi, hingga evaluasi hukum adat.


Materi lainnya mencakup asas-asas yang harus menjadi dasar dalam penyusunan RPP, seperti kemanusiaan, non-diskriminasi, penghormatan terhadap persamaan derajat, kebangsaan, serta prinsip kekeluargaan dan musyawarah untuk mufakat,” ucap Agustin yang hadir secara luring. 

Narasumber lainnya yaitu Annisa Azzahra dari Koalisi Kawal Living Law, menyoroti urgensi pelindungan kelompok rentan dalam proses legalisasi hukum adat agar tidak terjadi diskriminasi struktural. Terakhir, akademisi Tody Sasmitha Jiwa Utama menggarisbawahi pentingnya integrasi prinsip-prinsip HAM dan non-diskriminasi dalam setiap pasal, mengingat potensi pasal-pasal tersebut berdampak langsung pada kebebasan sipil warga negara yang rentan terhadap eksklusi sosial dan kriminalisasi.

Dalam diskusi ini, Komnas Perempuan mencatat berbagai masukan dari peserta untuk memperkaya pertimbangan dalam penyusunan RPP tentang Tata Cara dan Kriteria Penetapan Hukum yang Hidup di Masyarakat. Di antaranya integrasi prinsip kesetaraan gender ke dalam setiap tahapan penyusunan dan implementasi RPP yang perlu dikawal secara strategis oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA). 

Masukan dari Indonesia Legal Resource Center (ILRC) juga tercatat. Sebagai unsur pelaksana di lapangan yang akan berhadapan langsung dengan masyarakat dalam konteks penegakan hukum adat, perlu ada tata laksana dan pelatihan yang memadai kepada para penegak hukum untuk mencegah potensi penyalahgunaan wewenang atau praktik diskriminatif terhadap kelompok rentan.

RPP diharapkan benar-benar dapat menjadi payung hukum yang adil, setara, dan menjunjung tinggi martabat seluruh warga negara, terutama bagi mereka yang selama ini berada dalam posisi rentan dalam sistem hukum, seperti perempuan, masyarakat adat, penyandang disabilitas, dan kelompok minoritas lainnya. RPP yang dirancang secara partisipatif, transparan, dan berbasis pada prinsip hak asasi manusia akan menjadi pondasi kuat bagi transformasi hukum yang lebih inklusif dan berkeadilan.





Pertanyaan / Komentar: