...
Kabar Perempuan
Komnas Perempuan Kunjungi Dua Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) Terpidana Mati, Merri Utami dan Mary Jane Veloso, Pada Hari Pergerakan Perempuan Sekaligus Jelang Perayaan Natal Tahun 2022


Pada momentum Hari Pergerakan Perempuan sekaligus jelang perayaan Natal tahun 2022, Komnas Perempuan melakukan kunjungan ke 
Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP) Kelas IIA Semarang untuk bertemu dengan WBP terpidana mati, Merri Utami dan LPP Kelas IIB Yogyakarta untuk bertemu dengan WBP terpidana mati asal Filipina, Mary Jane Veloso.
Pada momentum Hari Pergerakan Perempuan sekaligus jelang perayaan Natal tahun 2022 ini, Komnas Perempuan melakukan kunjungan ke Lembaga Pemasyarakatan Perempuan (LPP) Kelas IIA Semarang untuk bertemu dengan WBP terpidana mati, Merri Utami dan LPP Kelas IIB Yogyakarta untuk bertemu dengan WBP terpidana mati asal Filipina, Mary Jane Veloso.

LPP Kelas IIA Semarang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bidang pemasyarakatan pada wilayah kerja Kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jawa Tengah. Kunjungan Komnas Perempuan ke LPP Kelas IIA Semarang diwakili oleh komisioner Tiasri Wiandani, komisioner Satyawanti Mashudi, dan komisioner Veryanto Sitohang, serta tiga badan pekerja yakni Siti Lutfiyah Azizah, Novianti, dan Siti Cotijah, bersama dengan LBH Masyarakat selaku kuasa hukum Merri Utami.


Saat tiba di LPP Kelas IIA Semarang, Komnas Perempuan dan LBH Masyarakat disambut oleh Kepala Seksi Bimbingan Narapidana/Anak Didik (Kasi Binadik) Mei Kartini beserta petugas lapas lainnya. Komnas Perempuan dengan LBH Masyarakat melakukan dialog dengan Kasi Binadik Mei Kartini tentang sistem pemasyarakatan di LPP Kelas IIA Semarang dalam rangka membina, merawat, dan membimbing WBP agar dapat hidup normal dan kembali ke masyarakat. 

Dahulu LPP Kelas IIA Semarang dikenal sebagai Penjara Wanita Bulu. Lapas yang ditetapkan  menjadi cagar budaya ini memiliki kapasitas 174 warga binaan.[1] Menurut penuturan Mei Kartini, LPP Kelas IIA Semarang mengalami permasalahan over kapasitas, karena jumlah warga binaan melampaui ketersediaan ruang di lapas. Saat ini, terhitung 295 WBP yang dibina di LPP Kelas IIA Semarang, sehingga 1 blok dihuni sekitar 30 – 40 WBP. 

“Dari keseluruhan WPB, sebagian besar kasusnya teridentifikasi sebagai kasus-kasus terkait narkotika, termasuk perempuan terpidana mati Merri Utami,” ujar Mei Kartini.

Selepas berdialog tentang pengelolaan dan kondisi lapas, Komnas Perempuan akhirnya bertemu dan berbincang dengan Merri Utami. Siang itu, dengan raut wajah semringah Merri Utami menyambut kehadiran Komnas Perempuan dan LBH Masyarakat. Kunjungan Komnas Perempuan dan LBH Masyarakat menambah semangat Merri Utami yang hingga kini belum menemui titik terang akan kasus yang dialaminya, yaitu dalam upaya agar terbebas dari pidana mati melalui kuasa hukumnya.

Merri Utami adalah Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang dijebak menjadi kurir narkotika. Merri Utami telah menjalani hukuman pidana selama 21 tahun karena tertangkap tangan membawa 1,1 kilogram heroin dalam tas milik temannya asal Nepal. Meski dengan kerentanannya sebagai PMI dan korban dari sindikat perdagangan narkotika, Merri Utami divonis hukuman mati pada tahun 2001. Merri Utami telah mengajukan grasi pada tahun 2016 dan belum dijawab oleh Presiden Joko Widodo, hingga kini mengajukan peninjauan kembali (PK) untuk kedua kalinya.

Komnas Perempuan menanyakan keseharian Merri Utami dan satu WBP terpidana mati lainnya, serta kondisi para WBP lainnya yang mengalami banyak kerentanan di dalam lapas. Merri Utami menceritakan kegiatan yang dilakukannya di dalam lapas. Ia menerangkan untuk menguatkan diri selama menjalani hukuman, Merri Utami mencurahkan emosinya dengan menyanyi dan menciptakan lagu. Lagu-lagu yang diciptakannya meliputi lagu religi yang di antaranya berjudul “Indah Pada Waktunya” dan “Hatiku Milikmu”. Di LPP Kelas IIA Semarang, Merri Utami juga tergabung dan memimpin Paduan Suara Wire, serta aktif membawakan lagu-lagu rohani. Merri Utami seringkali mengajak WBP lainnya agar turut serta mengikuti kegiatan di gereja di dalam lapas.

Merri Utami piawai dalam menjahit sampai dijuluki sebagai “Si Buta Pembuat Pola”. Julukan tersebut diberikan karena Merri Utami mampu menjahit pakaian dengan menggunting kain secara langsung, tanpa menggambarkan skema pola dan ukuran melalui kertas terlebih dahulu. Serangkaian kegiatan ini menjadi ruang pemulihan terhadap Merri Utama dan penghuni WBP lainnya. Khususnya jelang perayaan Natal, kehadiran Komnas Perempuan dan LBH Masyarakat yang meyakinkan Merri Utami bahwa ia tidak sendiri, menguatkan harapan untuk terus memperjuangkan keadilan bagi dirinya. 


13 Tahun Penantian Mary Jane Veloso Memohon Grasi Presiden

Harapan yang sama seperti Merri Utami juga disampaikan oleh Mary Jane Veloso (MJV) saat ditemui bertepatan dengan Hari Pergerakan Perempuan (Hari Ibu Nasional) di LPP Kelas IIB Yogyakarta (22/12). Bersama dengan kuasa hukum MJV, Komnas Perempuan pada mulanya diterima oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Evi Loliancy dan beberapa perwakilan petugas Lapas. Meski MJV telah menjalani masa hukuman selama 13 tahun dan beberapa kali berpindah lapas, status MJV merupakan WBP titipan Kejaksaan Negeri (Kejari) Sleman. Oleh karenanya, dalam pertemuan tersebut juga dihadiri Rahajeng Dinar Hanggarjani selaku Kepala Sub Seksi Penuntutan, Eksekusi, dan Eksaminasi Kejari Sleman.

MJV merupakan warga negara Filipina yang dijatuhi pidana mati di Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta pada 22 Oktober 2010. Serupa dengan Merri Utami, MJV adalah perempuan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang dijebak dengan modus perekrutan tenaga kerja di luar negeri. Komnas Perempuan memandang penting keadilan yang substansial bagi MJV, sebagai bentuk perlindungan perempuan korban dalam pengadilan nasional di Indonesia.

Komnnas Perempuan bersama Kalapas Kelas IIB Yogyakarta mendialogkan perkembangan kasus dan situasi dalam menjalani masa pidana. Atas statusnya yang merupakan titipan Kejaksaan dengan berbagai protokol keamanan sebagai terpidana mati, Kalapas Evi Loliancy menyampaikan bahwa keberadaan MJV memerlukan kepastian hukum.

“Mengingat WBP adalah manusia, bukan barang, sehingga memerlukan interaksi dengan sesamanya. Bahwa hampir setiap pagi MJV akan melihat papan pengumuman putusan dan permohonan grasi, yang sejauh ini belum pernah mencantumkan namanya,” ungkap Evi Loliancy.

Tentang kesehariannya di lapas, MJV melakukan aktivitas kegemarannya yakni membatik dan melukis. MJV menikmati proses membatik dan melukis sebagai ruang pemulihan dan penguatan hatinya karena terpisah jauh dengan keluarganya di Filipina. Selain berbincang langsung dengan MJV, Komnas Perempuan berkesempatan untuk melihat hasil lukisan MJV yang menggambarkan seorang ibu dengan dua anak terpajang di lorong LPP Kelas IIB Yogyakarta. MJV mengungkapkan lukisan tersebut merupakan gambaran dirinya dan kedua anaknya yang beranjak dewasa tanpa pengasuhannya karena harus mendekam di dalam lapas.

Memanfaatkan momentum pertemuan ini, MJV menitipkan batik hasil rancangannya untuk Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana sebagai simbol harapan, agar pemerintah Indonesia berkenan mendengarkan permohonan grasinya, sehingga ia dapat berkumpul kembali dengan keluarganya di Filipina.

Setelah berbincang-bincang berbagai hal dengan MJV serta mengelilingi lapas untuk mengunjungi WBP lainnya, Komnas Perempuan mengakhiri kunjungannya di LPP Kelas IIB Yogyakarta. Pada akhir kunjungan ini, MJV tidak lupa menyalami tim kunjungan seraya mengucapkan “Selamat Hari Ibu” bagi semua. Merri Utami dan Mary Jane Veloso menyampaikan terima kasih kepada Komnas Perempuan dan masyarakat Indonesia yang mendukung mereka selama ini. Semoga keinginan mereka bisa bebas dari lapas dapat terpenuhi dan menjadi kado Natal tahun 2022.


Pertanyaan / Komentar: