Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Veryanto Sitohang, dan dua komisioner yakni Bahrul Fuad dan Satyawanti Mashudi serta Badan Pekerja menerima kunjungan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada Selasa, 18 Januari 2022 bertempat di Ruang Persahabatan, gedung Komnas Perempuan. Partai Solidaritas Indonesia diwakili oleh Dea Tunggaesti (Sekjend DPP PSI), Isyana Bagoes Oka (Ketua DPP PSI), Imelda Purba (Direktur Perempuan dan Anak), Francine Widjojo (Juru Bicara DPP PSI), Rian Ernest (Juru Bicara DPP PSI), Mikhail Gorbachev Dom (Juru Bicara DPP PSI), Yus Ariyanto (Wakil Direktur Kampanye), dan Farhanah (Kader PSI). Kunjungan ini dalam rangka membincang proses pengesahan dan pengawalan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) di DPR RI.
Mengawali diskusi, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menjelaskan bahwa proses penyusunan RUU TPKS berangkat dari pendokumentasian penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan oleh Komnas Perempuan dan lembaga layanan di berbagai daerah. Tahun 2014, Komnas Perempuan bersama mitra (Jaringan Masyarakat Sipil) mengolah data untuk menghimpun Catatan Tahunan kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia. Dari hasil pendokumentasian, Komnas Perempuan menemukan ada 15 bentuk kekerasan seksual yang belum dikenali di Undang-Undang saat ini. Seperti yang diketahui bahwa definisi perkosaan dalam KHUP hanya mencakup persetubuhan dan mensyaratkan penetrasi dalam hubungan seksual.
Kasus perkosaan adalah kasus kekerasan seksual utama yang sangat banyak terjadi. Perkosaan juga salah satu bentuk kekerasan seksual yang menjadi motor awal dalam pembentukan RUU TPKS. Tahun 2019, Komnas Perempuan menyusun laporan untuk pelapor khusus PBB, bahwa hanya 30% kasus perkosaan yang masuk diproses hukum. Data Komnas Perempuan mencatat kasus perkosaan 9.700 kasus perkosaan pada Catahu 2015-2020. Artinya 5 kasus pemerkosaan yang terjadi setiap harinya. Sayangnya pengusulan draft RUU TPKS dengan TA Badan Legislasi tanggal 8 Desember 2021, mengeliminasi perkosaan dari bentuk kekerasan seksual yang diusulkan oleh Komnas Perempuan dan Jaringan Masyarakat Sipil. Kini, RUU TPKS hanya mengakomodir 5 bentuk kekerasan seksual.
Lebih jauh, hal yang paling dikhawatirkan adalah penanganan korban kekerasan seksual yang belum komprehensif mulai dari pemeriksaan kesehatan korban pasca peristiwa hingga pelaporan di kepolisian. Saat ini, laju pelaporan kasus kekerasan seksual terus meningkat namun tidak diimbangi hukum yang memberikan keadilan serta layanan untuk penanganan. Penting untuk dicatat bahwa selama proses pembahasan RUU TPKS, juga harus dipersiapkan infrastruktur layanannya yang lebih memadai dan kuat. Terutama lonjakan kasus, setelah RUU TPKS disahkan.
Ketua Subkomisi Partisipasi Veryanto Sitohang menyampaikan bahwa peran serta seluruh elemen masyarakat dalam proses pengesahan RUU TPKS sangat dibutuhkan. Dalam proses pembahasan, muatan RUU TPKS dipastikan memenuhi rasa keadilan dan kebutuhan korban. Oleh karenanya, Komnas Perempuan berupaya untuk mengajak masyarakat untuk melakukan penyadaran melalui sosialisasi dan kampanye mendukung pengesahan RUU TPKS. Seiring dengan Komnas Perempuan, PSI berkomitmen untuk mendukung pembahasan dan pengesahan RUU TPKS yang berpihak terhadap korban, diantaranya melakukan kampanye melalui media sosial.