Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menggelar Dialog Penguatan Peran Tokoh Agama dan Ruang Keagamaan dalam Membangun Ruang Aman bagi Perempuan di Nusa Tenggara Barat, Rabu, 11 Desember 2025. Dialog ini menjadi bagian dari rangkaian Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) yang diperingati setiap tahun.
Kegiatan tersebut diikuti sekitar 65 peserta yang terdiri dari tokoh agama Islam, guru agama, santri dan santriwati muda yang aktif dalam gerakan sosial, serta tokoh agama yang menginisiasi sekolah dan pesantren inklusif bagi penyandang disabilitas di NTB. Dari jumlah tersebut, 42 peserta merupakan perempuan dan 23 laki-laki.
Ketua Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Daden Sukendar menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan juga terjadi di ruang-ruang keagamaan dan perlu direspons secara serius.
“Kita tidak bisa menutup mata bahwa kekerasan terhadap perempuan juga terjadi dalam sektor keagamaan, baik di ruang domestik, pendidikan keagamaan, maupun institusi keagamaan itu sendiri. Agama sejatinya harus menjadi sumber nilai yang melindungi martabat manusia, bukan justru membiarkan kekerasan terjadi atas nama tafsir atau relasi kuasa,” ujarnya.
Ia menambahkan, peran tokoh agama sangat strategis dalam membangun narasi keagamaan yang berpihak pada korban.
“Tokoh agama memiliki posisi penting untuk mencegah, mendorong penanganan, dan mendukung pemulihan korban kekerasan. Ruang keagamaan harus menjadi ruang aman bagi perempuan,” kata dia.
Dalam dialog tersebut, narasumber lainnya dari kalangan pendidik, Muhsinatin, menekankan pentingnya pendidikan perempuan sebagai prioritas utama.
“Pendidikan perempuan hari ini bukan lagi semata-mata untuk kepentingan domestik. Pendidikan adalah kunci kemandirian, daya kritis, dan perlindungan perempuan dari berbagai bentuk kekerasan,” ujar Muhsinatin.
Diskusi berlangsung dinamis dengan berbagai pertanyaan kritis dari peserta, mulai dari mekanisme penanganan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kasus kekerasan seksual yang terjadi di pesantren, hingga strategi pelibatan tokoh agama yang mengelola pesantren dan sekolah inklusif agar lebih responsif terhadap korban kekerasan.
Sejumlah peserta juga mempertanyakan bagaimana membangun sistem pelaporan yang aman di lingkungan keagamaan serta mendorong keberpihakan institusi agama terhadap korban tanpa stigma. Komnas Perempuan menegaskan dialog ini menjadi langkah awal untuk memperkuat peran tokoh agama dan institusi keagamaan dalam menciptakan ruang yang aman, adil, inklusif, dan bebas dari kekerasan bagi perempuan di Nusa Tenggara Barat.
