...
Kabar Perempuan
Konstruksi Kekerasan Seksual di Mata Hukum Memperlihatkan Rentannya Kriminalisasi Korban

Konstruksi Kekerasan Seksual di Mata Hukum Memperlihatkan Rentannya Kriminalisasi Korban

Sebagai bagian dari rangkaian Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP), Komnas Perempuan hadir dalam seminar bertajuk “Perempuan dan Konstruksi Kekerasan: Perempuan di Mata Hukum” di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) pada Selasa (05/12/2017). Seminar ini merupakan hasil kerjasama antara Komnas Perempuan, FHUI, Lentera Sintas Indonesia, MaPPI FHUI, Yayasan Pulih, LBH Apik, dan Enam Belas Film Festival. Komisioner Komnas Perempuan, Sri Nurherwati hadir sebagai pembicara, bersama Ketua Program Pascasarjana Kajian Gender, Lidwina Inge Nurtjahyo, Peneliti MaPPI FHUI, Meyriza Violyta, dan anggota DPR RI, Rahayu Saraswati D. Djojohadikusumo. Seminar ini dimoderatori oleh Veni Oktarini Siregar, Direktur LBH Apik Jakarta.

Pembahasan mengenai perempuan di mata hukum berkaitan erat dengan tema Kampanye 16HKATP tahun ini, yaitu “Perlindungan Korban Melalui Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual”. Mengawali seminar ini, Nurherwati menyampaikan tentang elemen kunci RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan 9 jenis kekerasan seksual yang diatur di dalamnya. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual penting untuk segera disahkan karena hukum positif di Indonesia nyatanya belum mampu menanggulangi kerugian korban maupun melindungi hak-hak korban.

Sehubungan dengan itu, Nurherwati menyampaikan bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan RUU KUHP, kekerasan seksual hanya dianggap sebagai delik susila, yang berarti dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan, bukan kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang. Akibatnya, mudah terjadi kriminalisasi pada korban. Lebih lanjut, terdapat beberapa ketentuan dalam KUHP dan RUU KUHP yang menjadi perhatian Komnas Perempuan, misalnya ketentuan tentang pasangan di luar perkawinan yang sah serta generalisasi makna kata “zina” yang juga menimbulkan potensi kriminalisasi korban.

Selanjutnya, Meyriza memaparkan tentang definisi gender di mata hukum dan asas hukum saat ini yang terkait kekerasan seksual, yang semakin menggarisbawahi pentingnya peraturan hukum baru yang lebih tegas dan spesifik terhadap hal-hal yang belum diatur dalam hukum yang sudah ada. Lalu, Inge mengupas tentang relasi kuasa yang menjadi akar permasalahan kekerasan seksual serta miskonsepsi. Kemudian, Saraswati sebagai anggota Komisi VIII DPR RI memberikan cuplikan wawasan tentang proses dan perkembangan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di DPR RI yang saat ini telah masuk ke dalam Prolegnas Prioritas untuk tahun 2017.

Sebagai kesimpulan, Nurherwati menyampaikan pentingnya melihat kasus kekerasan seksual bukan sebagai persoalan kesusilaan semata, melainkan kejahatan terhadap martabat manusia.

Membicarakan tentang konstruksi kekerasan dan perempuan di mata hukum adalah membicarakan bagaimana kekerasan seksual tak dilihat sebagai masalah kesusilaan semata, melainkan masalah perlindungan Hak Asasi Manusia. Dibutuhkan pengetahuan komprehensif, termasuk mengenai akar permasalahan yaitu relasi gender dan relasi kuasa.” Tutup Nurherwati.

Dengan demikian, seminar ini semakin menunjukkan pentingnya mendorong negara untuk memperhatikan perlindungan korban melalui pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.


 


Pertanyaan / Komentar: