Makassar – Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berdialog dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan pada Senin, (17/7/2023). Pertemuan yang dilangsungkan di kantor Gubernur tersebut mendiskusikan perlunya penguatan program pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di berbagai tingkat dan lingkup kerja pemerintah, termasuk di Provinsi Sulawesi Selatan.
Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia Chadidjah Salampessy, menyampaikan Pemerintah dan Pemerintah daerah perlu melihat kembali berbagai upaya yang telah dilakukan untuk melindungi hak perempuan.
“Banyak kita temukan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Padahal hak perempuan telah dijamin oleh konstitusi, Terlebih lagi saat ini, Indonesia akan memasuki tahun pemilihan umum dengan intensitas politik yang semakin tinggi,” ungkapnya.
Olivia mengungkapkan adanya beberapa kasus yang Komnas Perempuan terima dalam kaitannya dengan kekerasan terhadap perempuan dalam konteks politik.
“Kita tentu perlu menguatkan kerja-kerja pencegahan, penanganan dan perlindungan, agar tahun 2024 mendatang kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dalam politik dapat diantisipasi,” tambah Olivia.
Menyambut hal tersebut, Asisten III Pemprov Sulawesi Selatan, Toutoto Tana Ranggina, mengatakan Pemprov Sulawesi Selatan telah melaksanakan beragam program perlindungan untuk perempuan dan anak. Program pemberdayaan perempuan juga menjadi salah satu prioritas pemprov.
“Kita punya beberapa Peraturan Daerah untuk menjamin perlindungan. Salah satu yang baru disahkan adalah Perda Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Soalnya, TPPO ini banyak juga kasus yang korbannya adalah perempuan,” ujarnya.
Tidak hanya itu, Toutoto lanjut menguraikan bahwa Pemprov juga telah memberikan perhatian khusus pada kelompok rentan.
“Kita menjadi provinsi pertama di Indonesia, yang menerima tenaga non-ASN yang disabilitas. Ada 18 pegawai non-ASN disabilitas dan disebar di berbagai perangkat daerah. Itu kebijakan Pak Gubernur. Tidak ikut (seleksi) PPPK. Sebagai program pemberdayaan,” jelasnya.
Terkait dengan perlindungan hak perempuan dalam politik dan pemilu, Toutoto mengatakan, pemerintah provinsi juga akan terlibat aktif untuk memberikan pengawalan dan pemantauan. Hal ini dimulai dengan mendorong penganggaran yang efektif untuk penyelenggaraan pemilu.
“Kita sudah berkoordinasi dengan KPU, bagaimana mereka dapat menjalankan tugas mereka dengan anggaran yang efektif. Jadi tidak ada pemborosan,” ucapnya.
Selanjutnya, sebagai upaya pencegahan Pemprov mengajak partai politik yang akan berkompetisi untuk menyelenggarakan pembekalan politik, minimal pada calon anggota-anggota. Dampaknya, saat ini mulai terlihat adanya partai politik yang mengadakan konsinyering dan melakukan kegiatan pendidikan isu politik lainnya.
“Dari Kesbangpol (Badan Kesatuan Bangsa dan Politik) kita suruh memantau. Pendidikan itu (berguna) supaya ada bekal kepada calon peserta pemilu untuk mengetahui tugas-tugas mereka saat mereka nanti berkontestasi dalam pemilu dan menjabat nantinya jika terpilih,” terang Toutoto.
Komisioner Komnas Perempuan, Retty Ratnawati, yang turut hadir dalam dialog tersebut juga mempertanyakan kesediaan akses layanan penanganan dan pemulihan perempuan yang menjadi korban kekerasan.
“Apakah rumah sakit yang disediakan pemerintah daerah sudah mencukupi untuk kebutuhan penanganan dan pemulihan korban? Apakah untuk pemeriksaan medis dan visum itu gratis atau bagaimana?” tanya Retty.
Menjawab hal tersebut, Pemprov Sulawesi Selatan memastikan bahwa perempuan korban kekerasan dapat mengakses layanan medis dengan gratis di Rumah Sakit Umum Daerah Sulawesi Selatan.
“Iya bu, gratis. Termasuk juga untuk visum di Rumah Sakit Bhayangkara,” pungkas Toutoto.