Yogyakarta – Pacitan, 28 Mei 2025 — Enam lembaga negara yang tergabung dalam Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) melakukan kunjungan bersama ke sejumlah lokasi tempat penahanan dan serupa tahanan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, pada 25–28 Mei 2025. Kegiatan ini bertujuan untuk memantau kondisi para tahanan, mencegah praktik penyiksaan, dan mendorong reformasi sistem perlindungan hak asasi manusia.
KuPP terdiri dari enam lembaga negara yang memiliki mandat di bidang hak asasi manusia, yaitu Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman RI, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komisi Nasional Disabilitas (KND). Meskipun Indonesia belum meratifikasi Optional Protocol to the Convention Against Torture (OpCAT), kerja sama ini dibentuk sebagai bentuk prakarsa untuk menerapkan pendekatan National Preventive Mechanism (NPM) dalam pencegahan penyiksaan.
Selama kunjungan, tim KuPP melakukan pemantauan langsung ke sejumlah fasilitas, termasuk Rutan Polda DIY, Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta, RSJ Grhasia, Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II, Lapas Perempuan Yogyakarta, serta Polres Pacitan, Rutan Kelas IIB Pacitan, dan RSUD dr. Darsono.
Kegiatan ini bertujuan untuk meninjau langsung kondisi tahanan, mencegah praktik penyiksaan, dan mendorong reformasi sistem perlindungan HAM di tempat-tempat penahanan.
“Kunjungan ini bukan sekadar inspeksi, tapi bagian dari kerja kolektif untuk memastikan adanya pembenahan sistemik. Kami ingin semua lembaga penahanan memegang prinsip kemanusiaan dan perlindungan hak asasi manusia,” ujar Johanes Widijantoro, anggota Ombudsman RI yang juga Koordinator KuPP.
Salah satu fokus kunjungan adalah tindak lanjut terhadap sejumlah kasus kekerasan di tempat penahanan, termasuk pemerkosaan oleh oknum aparat terhadap tahanan perempuan. Kasus ini menegaskan pentingnya akuntabilitas institusi penegak hukum dan perlindungan bagi korban. Dalam kunjungan tersebut, tim KuPP membagi diri menjadi beberapa kelompok yang menyasar Rutan, Lapas, LPKA, RSJ, serta melakukan wawancara langsung dengan tahanan dan petugas.
Selain kunjungan ke lapas dan rutan, KuPP juga menggelar diskusi terpumpun di Yogyakarta bersama 15 perwakilan lembaga mitra kerja dan jaringan masyarakat sipil. Diskusi ini menggali berbagai persoalan penyiksaan, mulai dari salah tangkap, pemaksaan pengakuan dengan kekerasan, hingga represi terhadap perempuan dan penyandang disabilitas, terutama dalam konflik agraria dan layanan publik.
“Penting bagi lembaga penegak hukum untuk tidak hanya menghormati, tetapi juga secara aktif melindungi hak asasi para tahanan, terutama yang memiliki kerentanan khusus, seperti perempuan berhadapan dengan hukum dan penyandang disabilitas. Hal ini sejalan dengan standar internasional seperti Mandela Rules dan Bangkok Rules,” kata Sondang Frishka, Wakil Ketua Transisi Komnas Perempuan.
Tim KuPP juga mendorong penguatan sinergi antar lembaga negara, khususnya dengan kepolisian, Ditjen Pemasyarakatan, serta layanan kesehatan mental. Kolaborasi ini juga menjadi sarana untuk menyosialisasikan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Kami ingin memastikan bahwa perspektif gender dan perlindungan korban menjadi elemen kunci dalam reformasi sistem hukum dan pemasyarakatan,” ujar Irwan Setiawan, Komisioner Komnas Perempuan.
Seluruh temuan selama kunjungan akan dituangkan dalam laporan akhir yang disampaikan kepada kementerian/lembaga dan pemerintah daerah terkait, guna merumuskan rekomendasi kebijakan berbasis data dan pengalaman lapangan. KuPP juga mendorong penguatan mekanisme pengawasan eksternal terhadap implementasi UU No. 5 Tahun 1998 (ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan), serta mendorong pemerintah untuk segera meratifikasi OpCAT sebagai dasar pembentukan mekanisme pemantauan nasional yang lebih kuat dan berkelanjutan.