Dalam rangka memperingati Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan serta Hari Pergerakan Perempuan Indonesia. Komnas Perempuan mengadakan diskusi Peluncuran Manual dan Hasil Pemetaan serta Modul Pelatihan Dalam Pemenuhan Hak dan Akses Layanan Kesehatan, KSR dan Anggaran Desa bagi Perempuan Penyandang Disabilitas dan Lansia pada 22 Desember 2021. Diskusi sangat penting mengingat ruang aman perempuan belum terselenggara seiring meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan yang tidak diiringi kapasitas yang cukup dalam menghadirkan daya respon yang dibutuhkan. Andy Yentriyani selaku Ketua Komnas Perempuan dalam sambutannya menyampaikan situasi pandemi semakin meningkatkan kerentanan dan diskriminasi bagi lansia maupun disabilitas. Sejumlah kajian menunjukkan masih terdapat hambatan dalam pemenuhan fasilitas bagi kelompok disabilitas. Komnas perempuan bekerjasama dengan UNFPA dan mitra di lima wilayah yakni wilayah Cirebon, Bekasi, Kulon Progo, Situbondo, dan Kupang melakukan pemetaan mengenai kondisi dan akses kesehatan reproduksi perempuan disabilitas dan lansia serta perlindungannya. Empat produk pengetahuan yang dihasilkan dimaksudkan untuk memantik diskusi mengenai bagaimana meneguhkan langkah dalam pemenuhan hak-hak perempuan disabilitas serta lansia termasuk melalui anggaran desa yang responsif.
Anjali Sen selaku perwakilan UNFPA juga menyampaikan bahwa layanan kesehatan jiwa bagi perempuan rentan sangat penting dan menjadi tanggung jawab bersama. Perempuan disabilitas serta lansia mengalami kerentanan kekerasan dan mengalami tantangan lebih dibandingkan usia muda. Sehingga melalui modul ini UNFPA berkomitmen mengakomodasi kebutuhan perempuan yang mengalami kerentanan. Siti Nurwati Hodijah selaku Koordinator Resource Center Komnas Perempuan menyampaikan bahwa latar belakang kajian pemetaan ini adalah rendahnya ketersediaan akses terhadap fasilitas dan layanan kesehatan reproduksi terhadap perempuan penyandang disabilitas dan lansia, serta belum teridentifikasinya kebutuhan dan pembaharuan kebijakan bagi kelompok disabilitas dan lansia.
Rainy Maryke Hutabarat, Komisioner Komnas Perempuan menyatakan bahwa dalam memberikan
akses layanan kesehatan dan anggaran desa bagi disabilitas serta lansia,
Kabupaten Situbondo, Kulon Progo serta
Cirebon sudah memiliki peraturan khusus mengenai pemenuhan hak disabilitas.
Namun dalam pelaksanaannya sebagian wilayah masih mengalami hambatan seperti
dalam pemenuhan aspek kesehatan serta belum memiliki peraturan terkait
kesehatan khusus bagi lansia dan disabilitas.
Retty Ratnawati Ketua Bidang Resource
Center Komnas Perempuan menyampaikan bahwa kader kesehatan mengalami
kesulitan untuk menyampaikan edukasi kesehatan reproduksi kepada perempuan
disabilitas karena terbatasnya kapasitas. Bahkan tidak semua penyandang
disabilitas menganggap kesehatan reproduksi sebagai bagian penting. Oleh
karenanya, diperlukan SOP tentang kesehatan reproduksi agar memudahkan
pelaksanaan kegiatan. Hambatan lainnya saat ini, mayoritas kasus kekerasan yang
terjadi terhadap perempuan disabilitas terhenti prosesnya, akibat dari pembuatan
berita acara yang belum dapat intervensi, serta hambatan penyandang disabilitas
dalam melakukan pencegahan karena belum mampu merespon kekerasan yang
dialaminya.
Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan menyampaikan modul diharapkan menjadi panduan dalam memahami hak-hak kesehatan reproduksi serta penanganan kekerasan seksual terhadap perempuan penyandang disabilitas. Untuk lansia, skema perlindungan sosial bagi mereka masih sangat terbatas, terutama yang bekerja di sektor informal. Diperlukan penyadaran melalui ruang-ruang pendidikan kepada pihak-pihak terkait dan upaya kolaboratif dalam advokasi dan pendampingan kelompok lansia dan disabilitas. Masukan konstruktif sangat diharapkan, sehingga hak-hak kelompok rentan, terutama perempuan penyandang disabilitas dan lansia dapat terpenuhi.
Siti Ruhaini Dzuhayatin, mewakili Kantor Staf Presiden menanggapi bahwa perlindungan bagi warga negara salah satu komitmen Presiden dalam menjunjung amanat konstitusi. Komnas Perempuan telah aktif dan konstruktif dalam memberikan rekomendasi kepada pemerintah dalam upaya memberikan perlindungan yang lebih maksimal bagi kelompok rentan.
Wachyu
Winarsih selaku perwakilan BPS juga memberikan tanggapan dalam modul pemetaan
yang terstruktur memudahkan dalam menangani penyandang disabilitas dan lansia.
Mengingat dalam kebijakan pembangunan haruslah menganut No One Left Behind agar mewujudkan pemenuhan hak bagi warga negara.
Sumiatun selaku perwakilan Kementerian Sosial RI menyampaikan apresiasi kepada Komnas Perempuan atas modul yang komprehensif dalam memberikan ruang aman bagi kelompok rentan yakni disabilitas dan lansia. Selain itu diperlukan adanya edukasi kepada masyarakat serta disabilitas mengenai pentingnya kesehatan reproduksi.
Erna Mulati selaku Direktur Kesehatan Keluarga Kemenkes RI juga memberikan tanggapan mengenai perlunya upaya komprehensif dari aspek promotif, preventif, dan rehabilitatif dalam memberikan perlindungan bagi semua ragam disabilitas. Upaya-upaya diantaranya melakukan kerjasama dengan lintas sektor, melakukan pelayanan secara proaktif serta memberikan dukungan pada lansia secara berkesinambungan. Adapun tantangan dalam pelaksanaan kesehatan reproduksi bagi disabilitas adalah akses untuk mendapat pelayanan yang masih kurang, fasilitas yang belum ramah, serta tenaga kesehatan yang belum sensitif bagi disabilitas dalam memberikan pelayanan.
Sri Wahyuni selaku Koordinator Desa Inklusif dan Desa Adat menyampaikan bahwa Kemendes Direktorat Pengembangan Sosial Budaya Lingkungan Desa telah menyusun terkait bimbingan teknis pemimpin perempuan serta diperlukan forum dalam menyusun usulan-usulan kelompok marginal. Serta kedepannya perlu adanya pendampingan dalam membentuk desa inklusif per kabupaten.
Aswin Wihdiyanto selaku perwakilan Kemendikbud menyampaikan perlu adanya penguatan pendidikan karakter, penyediaan guru khusus bagi ABK, serta media pembelajaran yang dapat diakses oleh ABK. Kemendikbud dalam upaya memastikan pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja dan disabilitas diantaranya adanya kompetensi merawat diri dalam program kebutuhan khusus serta pengembangan modul PKRS untuk peserta didik dengan disabilitas intelektual.
Annissa Sri Kusumawati selaku perwakilan Bappenas RI menyampaikan bahwa dalam menindaklanjuti pemenuhan hak bagi disabilitas serta lansia diperlukan sosialisasi dan pelatihan sensitivitas disabilitas terhadap penyediaan layanan kesehatan serta kolaborasi dan harmonisasi regulasi pemenuhan SPM Kesehatan terkait Penyandang Disabilitas.
Terakhir Dinas Sosial Kabupaten Bekasi, Cirebon, Kulonprogo, Kupang serta Situbondo menyambut baik hasil pemetaan Komnas Perempuan. Harapannya modul ini dapat menjadi rujukan bagi kajian program-program Dinas sosial daerah dalam pemenuhan dan pelayanan bagi lansia dan disabilitas.