“Ya Allah tolong tunjukkan jalan dimana anak saya untuk saya bawa pulang,” tutur Kusmiati (56) menceritakan pencarian anaknya yang menjadi korban kerusuhan Mei 98 kepada Tim Komnas Perempuan saat berkunjung ke rumah beliau dalam rangka kegiatan Peringatan Mei 98, Selasa, (30/5/2022). Meskipun telah terjadi 24 tahun lalu, tragedi Mei 1998 masih menyisakan rasa trauma bagi korban dan keluarga korban.
Kunjungan yang dilakukan bersama dengan Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI) dan Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) ini merupakan bentuk upaya Komnas Perempuan merawat ingatan atas kejadian pelanggaran HAM yang menodai martabat bangsa Indonesia. Dalam kesempatan kunjungan tersebut Tim Komnas Perempuan memberikan bantuan sosial kepada orang tua dan keluarga korban Tragedi Mei ’98 yang sudah lansia dalam rangka peringatan Hari Lansia Nasional tanggal 29 Mei.
Sambil menunjukkan foto anaknya, Kusmiati menceritakan kejadian 24 tahun lalu dimana Mustofa putra sulungnya yang saat itu masih berusia 14 tahun. Mustofa pamit dengan ibunya hendak main bersama teman-temannya. Di tengah perjalanan Mustofa sempat bertemu dengan pamannya yang kemudian memintanya untuk kembali pulang dan memberikan ongkos 5.000 Rupiah. Meski demikian, Mustofa tetap memilih untuk pergi bersama teman-temannya ke arah mal Yogya Plaza dan akhirnya turut menjadi korban pembakaran mal kala itu.
“Namanya juga anak-anak ya, jadi temannya ke mana dia ikut aja. Temannya yang ngajak dia pada balik ke rumah, tapi dianya (Mustofa) malah nggak,” kenang Kusmiati.
Kisah serupa juga diungkapkan oleh Maria Sanu (74) dan Raniem (63) saat dikunjungi Komnas Perempuan di rumahnya. Kedua anak mereka juga terbakar di mal Yogya Plaza yang kini berubah nama menjadi Cityplaza Klender.
Berdasarkan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), peristiwa kerusahan pada 13-15 Mei 1998 di beberapa tempat terjadi secara sistematis, masif dan meluas. TGPF menemukan fakta bahwa kebakaran di mal Yogya Plaza diawali dengan provokasi oleh sekelompok orang pada masyarakat untuk melakukan penjarahan. Setelah masyarakat terpancing untuk melakukan penjarahan, mal dikunci dari luar kemudian dibakar. Sekelompok provokator ini kemudian diketahui menghilang pasca mal Yogya Plaza terbakar.
Hingga kini Maria Sanu masih aktif melakukan aksi Kamisan di depan Istana Merdeka. Ia meminta pemerintah untuk mengakui adanya pelanggaran HAM berat dalam tragedi Mei 98 dan meminta keadilan bagi para korban.
Dalam kesempatan yang sama, Komnas Perempuan juga bersilaturahmi ke kediaman Nani Nurani Affandi (81), mantan penyanyi istana di masa Orde Lama yang menjadi korban pelanggaran HAM tahun 1965. Saat peralihan kepemimpinan Orde Lama ke Orde Baru, Nani dianggap sebagai anggota atau simpatisan PKI hanya karena pernah mengisi acara peringatan organisasi PKI tahun 1965 di kawasan Cianjur, Jawa Barat.
“Padahal saat saya menjadi pengisi acara, PKI masih menjadi partai resmi. Acaranya pun resmi dan dihadiri oleh para pejabat. Siapa sangka hanya karena mengisi acara tersebut saya harus kehilangan segalanya, kehilangan pacar dan keluarga. Pada saat itu saya benar-benar tidak diperbolehkan bertemu siap pun. Ketemu orang tua pun tidak boleh,” kenang Nani.
Kepada Komnas Perempuan Nani berpesan untuk jangan terlalu memikirkan masa depan, tapi juga harus memikirkan nasib para penyintas pelanggaran HAM yang sudah usia lanjut. Ia juga menyampaikan harapannya agar peristiwa kelam di masa lalu tidak akan pernah terjadi lagi di masa depan. [EF]