...
Kabar Perempuan
Merayakan Ibu Nusantara, Pahlawan Kita Semua

Merayakan Ibu Nusantara, Pahlawan Kita Semua


Pada Hari Selasa, tanggal 09 November 2021, dalam rangka menyambut peringatan Hari Pahlawan Nasional, khususnya merayakan kiprah dari para tokoh pahlawan perempuan nasional. Komnas Perempuan menggelar acara seminar nasional dengan mengusung tema “Merayakan Ibu Nusantara, Pahlawan Kita”, yang dimulai pada pukul 15.00 WIB, acara ini juga dihadiri oleh seluruh komisioner Komnas Perempuan beserta jajarannya dengan mengundang enam pembicara yang berupaya mengungkap kiprah perempuan yang tersembunyi dari catatan sejarah, mereka adalah Rena Asyari (Pengajar), Olivia Salampessy (Wakil Ketua Komnas Perempuan), Lia Anggia Nasution (Dosen), Ita F. Nadia (Ketua RUAS), R. Azmi Abu Bakar (Pemilik Museum Peranakan Tionghoa), hingga Martha Hebi (Aktivis Perkumpulan SOPAN Sumba Timur) dan dipandu oleh Amira Hasna Ruzuar (Badan Pekerja Komnas Perempuan) selaku moderator. Acara ini diberikan sambutan langsung oleh Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani.

Dalam setiap pemaparan materi dari para narasumber acara ini, ditegaskan bahwa yang menjadi isu krusial saat ini adalah bagaimana menjawab berbagai tantangan dari adanya perlakuan diskriminatif kepada perempuan sebagai dampak dari adanya kultur patriarki, bahkan kepada para pahlawan perempuan sekalipun. Rekam jejak mereka tidak banyak didokumentasikan, mengingat hal inilah yang menjadi faktor dari banyaknya perempuan pahlawan yang dibunuh secara sejarah, jasanya dihilangkan dari catatan kemerdekaan, gerakannya pun dihilangkan dari sejarah perjuangan.

Beberapa dari perempuan pahlawan tersebut yakni Lasminingrat, Monia Latualinya, Setiati Surasto, Auw Tjoei LanTamu Rambu Margaretha dan Boetet Satidjah.

Lasminingrat, rekam jejaknya dalam upaya pemenuhan hak perempuan dibuktikan dengan berpegang teguh pada pengetahuan. Dengan mengajar, menyadur, bahkan mendirikan sekolah menjadi wujud dari kiprahnya dalam memperjuangkan hak kaum perempuan untuk berperan aktif di ruang publik, visinya jelas, menjadikan perempuan untuk berstrategi, merdeka, dan memiliki kesempatan. Melalui sastra, Lasminingrat memiliki tanggung jawab untuk memberi pengetahuan pada anak-anak agar memiliki kepekaan. Tiga karyanya yakni Tjarita Erman, Warnasari, dan Warnasari Djilid II, menjadikannya role model bahwa perempuan mempunyai kuasa penuh atas hidupnya.

Monia Latualinya, srikandi Hatuhaha dengan perannya yang melekat sebagai Kapitan Alaka merupakan wujud konkrit seorang perempuan yang memiliki kiprah dalam sejarah perjuangan kemerdekaan. Semangat dan keberaniannya yang sangat tinggi turut mengobarkan semangat bagi para lelaki maupun perempuan Hatuhaha lainnya untuk turut serta melawan penjajah Belanda kala itu. Bahkan perjuangan Monia Latualinya, 180 tahun sebelum perlawanan Martha Christina Tiahahu dan tokoh lainnya di tahun 1817.

Setiati Surasto, perempuan pembela hak-hak buruh yang berasal dari Banyuwangi, yang aktif terlibat dalam Gabungan Serikat Buruh Sedunia bahkan menjadi drafter Perluasan Konvensi ILO No. 100 Tahun 1951 untuk persamaan upah dan anti diskriminasi. Bahkan dedikasi dari Setiati juga dibuktikan dari perannya dalam Sidang Biro Gabungan Wanita Demokratis Sedunia, dimana Setiati mengusulkan Solidaritas Internasional untuk perjuangan kemerdekaan nasional, hak-hak wanita dan perdamaian.

Auw Tjoei Lan, yang berperan aktif dalam upaya untuk melindungi perempuan yang diperdagangkan, wujud dedikasinya tercermin dari didirikannya rumah panti asuhan pada 1913 untuk melindungi anak terlantar maupun perempuan korban perdagangan manusia. Meskipun harus menghadapi berbagai tantangan termasuk adanya diskriminasi terhadap etnis tionghoa, namun tak menyurutkan tekadnya untuk mengkritisi ketidaksetaran dan kekerasan kepada perempuan kala itu.

Tamu Rambu Margaretha, bangsawan yang berasal dari Rakawatu, Kecamatan Lewa, Sumba Timur, yang berkiprah dalam upaya penyetaraan akses pendidikan bahkan kepada masyarakat dengan status sosial paling rendah di Sumba atau yang biasa disebut “Hamba”, mengingat ketimpangan relasi kuasa antara Tuan dan Hamba di Sumba sangat berdampak pada kesenjangan akses dan partisipasi termasuk di bidang pendidikan. Bahkan beliau memiliki keyakinan kuat bahwa pendidikanlah yang menjadi tulang belakang yang akan menguatkan pribadi untuk bekal hidup serta jalan pembebasan suatu perbudakan.

Boetet Satidjah, wanita yang berasal dari Tapanuli Selatan ini merupakan pendiri sekaligus redaktur dari Media Perempoean Bergerak pada tahun 1919 hingga 1920, hal ini menjadi wujud emansipasi perempuan Indonesia kala itu, dimana saat banyak perempuan yang tidak memiliki keberanian untuk mendobrak patriarki, pemikiran kritisnya terhadap isu kesetaraan bidang pendidikan maupun keadilan peran dalam rumah tangga membawanya menjadi feminis yang mengajak perempuan keluar dari keterbelakangan dan keterpurukan kala itu salah satunya dengan dibentuknya Rubrik Khusus Beroending dalam Media Perempoean. Namun secara khusus dalam penyampaian berbagai materi, disebutkan bahwa berbagai kegigihan, keberanian, serta dedikasi dari para pahlawan perempuan tersebut justru menghadapi tantangan dari adanya catatan sejarah yang diskriminatif terhadap perempuan, peran yang tidak ditulis, dibicarakan bahkan disinggung sama sekali dalam pentas sejarah Indonesia.

Pada akhir acara, Komnas Perempuan juga menggarisbawahi bahwa upaya pemajuan hak-hak perempuan tidak berhenti bahkan setelah kata merdeka, mengingat upaya penghapusan ketidakadilan masih harus terus diperjuangkan agar kemajuan hak-hak perempuan bukan hanya menjadi slogan semata*)


Pertanyaan / Komentar: