...
Kabar Perempuan
Pantau Perlindungan dan Pemenuhan Hak Dasar, Komnas Perempuan Sambangi Pengungsi

Indonesia merupakan salah satu negara transit sebelum melanjutkan ke negara-negara tujuan resettlement bagi para pengungsi dari negara-negara yang tengah berkonflik khususnya Afganistan, Rohingya (Myanmar), Sudan, Somalia, juga Srilanka. Menurut keterangan International Organization for Migration (IOM), meskipun Indonesia belum meratifikasi Konvensi PBB tentang Pengungsi, namun pemerintah selalu menerima kehadiran pengungsi manca-negara yang transit di Indonesia.

Untuk mendapatkan data langsung tentang situasi dan kondisi pengungsi, Komnas Perempuan melakukan pemantauan di dua lokasi yang berbeda. Pemantauan pertama pada 9-11 November 2023, Komnas Perempuan melalui koordinasi dengan Jesuit Refugee Service (JRS) mengunjungi pengungsi mandiri di Cisarua. Dalam kunjungan kedua pada 6-8 Desember 2023, Komnas Perempuan bertemu dengan pengungsi yang tinggal di akomodasi yang disediakan oleh IOM di Tangerang Selatan. Pengungsi yang ditemui terbanyak berasal dari Afganistan, dengan sebagian kecil dari Palestina, Sudan, Somalia, Ethiopia, Irak, Yaman, Pakistan, dan Srilanka.

Dari dialog dengan pengungsi, JRS, dan IOM, diketahui bahwa rata-rata pengungsi telah berada di Indonesia selama 7-8 tahun di Indonesia. Beberapa di antaranya bahkan telah tinggal di sini selama 11 tahun, dengan lokasi pengungsian yang berpindah-pindah, termasuk di Batam, Makassar, Medan, Cilacap, dan Riau. Keberadaan mereka yang bertahan bertahun-tahun ini disebabkan oleh lamanya masa tunggu resettlement ke negara-negara tujuan seperti Amerika, Kanada, dan Australia, yang dipengaruhi oleh kebijakan politik dari pemerintah negara tujuan tersebut.

Perempuan pengungsi menghadapi tantangan khusus terkait kebutuhan dasar, mulai dari akses pendidikan, layanan kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi dan mental, serta penanganan kekerasan berbasis gender seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan kekerasan seksual. Komnas Perempuan juga mencatat kurangnya layanan maternitas, yang menyebabkan beberapa pengungsi melahirkan dalam kondisi yang memprihatinkan, bahkan terdapat kasus bayi meninggal di dalam kandungan.

Terkait isu kesehatan mental, seorang pengungsi mengungkapkan bahwa stres menjadi masalah umum, terutama karena lamanya menunggu izin dari negara tujuan. Meskipun mereka memiliki pendidikan dan keahlian khusus, izin untuk bekerja tidak tersedia.

“Biaya hidup sehari-hari sangat minim, dan meskipun berpendidikan dan memiliki keahlian khusus, tak tersedia izin untuk bekerja. Mereka dapat menyumbangkan keahliannya, misalnya bahasa Inggris, bela-diri, namun tidak boleh menerima bayaran atau honor,” ungkap salah seorang pengungsi.     

Berdasarkan percakapan dengan Lurah Pisangan, Tangerang Selatan, diketahui bahwa anak-anak pengungsi dapat mengakses sekolah pemerintah tanpa ada larangan resmi.

“Sebagian anak-anak pengungsi bersekolah di lembaga pendidikan milik pemerintah. Ini sebagai bentuk dukungan kelurahan bagi anak-anak pengungsi. Mereka dapat berbahasa Indonesia disamping bahasa Arab, Pakistan, Sudan dan Inggris. Tantangan yang dihadapi dalam pergaulan sosial adalah bahasa. Tetapi saat Ramadhan dan Lebaran, komunitas RT/RW mengundang mereka untuk berbuka bersama dan bersilaturahmi. Sholat mereka lakukan di masjid bersama komunitas sekitar.” ungkap Lurah Pisangan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Riset dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Tahun 2019, anak-anak pengungsi telah diizinkan untuk masuk Sekolah Dasar Negeri, namun perlu dicatat bahwa keputusan ini bergantung pada ketersediaan bangku kosong di daerah tersebut. Penuturan salah satu perempuan pengungsi, anak yang telah menyelesaikan pendidikan tidak diberikan sertifikat kelulusan, melainkan hanya surat keterangan bersekolah. Seorang remaja perempuan menyampaikan kekhawatirannya bahwa ia mungkin mengalami kesulitan melanjutkan ke perguruan tinggi setempat setelah menyelesaikan Sekolah Menegah Atas (SMA).

“Saya harus mencari kuliah secara online dan gratis dari luar Indonesia,” katanya.

Dalam proses pemantauan tersebutm Komnas Perempuan melakuka dialog dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Tangerang Selatan, meskipun tidak ada kebijakan khusus terkait penanganan kasus KDRT pengungsi, pihak tersebut menegaskan komitmennya untuk tetap menerima pengaduan, menyediakan ruang aman bagi korban, dan mendukung pemulihan psikis. 

Salah satu staf DP3AP2KB menjelaskan, "Hambatan utama yang kami hadapi adalah bahasa. Meskipun kami tidak memiliki anggaran untuk membayar penerjemah, kami bersyukur karena beberapa pengungsi mampu berbahasa Indonesia dan Inggris, dan bersedia menjadi relawan penerjemah. Namun, untuk kebutuhan lainnya, kami mengandalkan sumber daya yang tersedia."

Pemantauan pengungsi dilakukan oleh Tim Advokasi Internasional yang terdiri dari komisioner Rainy Hutabarat, Theresia Iswarini, Satyawanti Mashudi, serta Badan Pekerja Sondang Frishka, Ridha Zahra, dan Verena Vanya.


Pertanyaan / Komentar: