Komnas Perempuan meluncurkan Laporan Nasional Hasil Pemantauan tentang Pelaksanaan Mekanisme Keadilan Restoratif/Restorative Justice (RJ) dalam Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis Gender di 9 Provinsi, Selasa (19/9/2023). Pemantauan ini bekerja sama dengan organisasi layanan pendamping korban kekerasan di 9 provinsi, dan mendokumentasikan praktik-praktik keadilan restoratif di 23 kabupaten/kota termasuk praktik-praktik di tingkat provinsi. Pemantauan ini melibatkan 18 orang pengambil data lapangan atau disebut sebagai pemantau, dan 3 orang pendamping yang masing-masing mengkoordinir 3 provinsi. Proses pengambilan data berlangsung pada Agustus hingga Oktober 2022, kemudian dilanjutkan dengan perumusan data dan kerangka analisis serta penulisan yang berlangsung hingga September 2023.
“Proses ini cukup panjang dan melelahkan, terutama teman-teman pemantau dan pendamping yang berproses bersama Komnas Perempuan selama 1 tahun 5 bulan, mulai dari penyusunan instrumen pemantauan hingga perumusan laporan, dan setiap saat selalu siap dihubungi untuk konfirmasi dan verifikasi data lapangan yang berjumlah sekitar 449 narasumber dari 9 provinsi” jelas Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin dalam sambutannya.
Ia menyebutkan, harapannya hasil pemantauan ini dapat memberi gambaran kepada semua pihak tentang situasi penanganan kekerasan terhadap perempuan dan tantangan penanganannya, baik dalam praktik sistem peradilan maupun dalam mekanisme sosial.
“Sebuah mekanisme yang komprehensif merespon situasi dan kebutuhan pemulihan korban semoga segera dapat kita wujudkan sebagai bagian dari komitmen berbangsa kita, serta Indonesia yang lebih baik,” ujar Mariana.
Dalam acara launching, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi dan Theresia Iswarini memaparkan hasil laporan yang diperoleh.
“Negara menjadikan RJ sebagai salah satu metode penyelesaian kasus dan kemudian diikuti oleh kebijakan internal (masing-masing institusi penegak hukum), tapi kami melihat berdasarkan pengamatan, pengaduan, dan sharing kasus, di dalam praktek RJ ini ada potensi merintangi hak korban dan menjadi cara pelaku menghindari hukum dan kecurigaan objektivitas APH,” jelas Siti Aminah.
Selanjutnya, Theresia Iswarini menerangkan bahwa sintesa dari seluruh temuan hasil pemantauan ini adalah bahwa ada 5 ciri utama dari praktik RJ yang dilakukan dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan. Ada praktek pelibatan prosedural, ada celah impunitas dan keberulangan, mengabaikan pemulihan korban, pengutamaan citra semu, dan minim akuntabilitas.
“Praktek ini disumbang oleh kebijakan sumir, kapasitas SDM minim, kurangnya pengawasan dan cara pikir patriarki. Dampaknya adalah penghambatan terhadap hak konstitusional warga dan terhambatnya akses hukum dan pemulihan,” pungkas Theresia.
Pemantauan ini menghasilkan beberapa rekomendasi kebijakan, yakni rekomendasi agar Menkopolhukam menaikkan isu RJ di tingkatan KUHAP, lalu menyusun rumusan aturan pelaksanaan hukum adat dengan peradilan pidana yang memenuhi prinsip HAP, melakukan pendidikan berbasis gender kepada lembaga adat dan serupa. Untuk KemenPPA, agar melakukan koordinasi berkala dengan institusi penegak hukum dan organisasi masyarakat, menyediakan juknis pelaksanaan layanan dan juga layanan pemulihan bagi korban.
Selain itu, untuk APH, Komnas Perempuan merekomendasikan agar menerbitkan penunjuk arah tentang implementasi RJ dalam penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan berbasis gender. Untuk Kejaksaan Agung, kerjasama dengan pihak terkait dan untuk MA agar menerbitkan kebijakan internal tentang RJ sesuai prinsip penanganan terhadap korban.
“Secara umum, sebelum melakukan kebijakan baru atau sinkronisasi dengan temuan ini, kami rekomendasikan untuk evaluasi kebijakan internal, meningkatkan kapasitas terutama yang menempati jabatan yang menangani perempuan dan anak, pengawasan pelaksanaan mekanisme, lalu sosialisasi ke masyarakat dan lembaga adat,” tambah Siti Aminah.
Selanjutnya, berdasarkan hasil laporan pemantauan ini direkomendasikan untuk Komnas Perempuan agar menyusun standar penanganan kekerasan terhadap perempuan yang boleh dan tidak boleh dilakukan RJ dan mendorong perbaikan melalui saran dan rekomendasi.