Dalam rangka Kampanye 16 Hari
Anti Kekerasan terhadap Perempuan (K16HAKtP), Komnas
Perempuan pada Kamis, 9 Desember 2021 melakukan
diskusi publik dengan tema “Kekerasan Terhadap Perempuan di Masa Pandemi
Covid-19 di Indonesia Timur” secara daring dengan mengundang beberapa
narasumber yakni I Gusti Ayu Bintang Darmawati (Menteri PPPA), Andy Yentriyani
(Ketua Komnas Perempuan), Retty Ratnawati (Komisioner Komnas Perempuan), Penny
Williams PSM (Duta Besar Australia untuk Indonesia), Agnes L. S Fobia (Dinas PPPA
Pemda Kab Timur Tengah Selatan), Dati Fatimah (Konsultan AIPJ2), Pdt. Sheily
F.A Parinussa/Siagian (Pendamping Perempuan Disabilitas Korban Kekarasan - HWDI,
Papua Barat), Rezky Pratiwi (LBH Makassar), Baihajar Tualeka (PPHAM/ Pengada
Layanan, Ambon), Latifa (Komunitas Perempuan Inisiator Rumah Aman Berbasis
Komunitas, Palu), Kompol. Ema Rahmawati (Komisaris Polisi Kanit 3, Subdit 5,
Tipidum Bareskrim Polri) dan Prof Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin (Tenaga Ahli
Utama Kantor Staf Presiden). Diskusi kali ini di moderatori oleh Uni Zulfiani
Lubis (Pemred IDN Times) dengan MC Kevin Pakan (News Anchor MNC Media).
Diskusi
diawali dengan sambutan Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani yang mengatakan
bahwa kerentanan berbasis gender terhadap perempuan khususnya yang merupakan
anggota dari kelompok rentan lain seperti lansia, anak perempuan, orang tua
tunggal, transgender dan orang-orang
dengan disabilitas ini dampaknya menjadi berlipat ganda. Kajian Komnas
Perempuan tentang layanan bagi perempuan korban kekerasan di masa Covid-19 menemukan
bahwa situasi yang dihadapi oleh lembaga-lembaga layanan terutama yang diinisiasi
oleh masyarakat sipil menjadi semakin berat karena selain kerja-kerja
pendampingan, dituntut juga mampu menyesuaikan dengan kondisi seperti jam
pendampingan yang lebih panjang bahkan tidak terbatas karena sebagian besar
layanan diberikan secara online. Karenanya
lembaga-lembaga layanan ini membutuhkan dukungan agar dapat melanjutkan
kerja-kerja pendampingan bagi perempuan korban kekerasan termasuk mekanisme
perlindungan dijaringan pengaman sosial serta adanya dukungan untuk kegiatan
pembinaan. Di tengah pandemi Covid-19 ini laporan kasus kekerasan terhadap
perempuan khususnya kekerasan seksual terus meningkat. Situasi ini dialami
hampir diseluruh wilayah Indonesia tidak terkecuali di wilayah Timur. Dalam
tiap kasusnya menggambarkan kelambanan dari penanganan proses hukum pada kasus
kekerasan seksual karena keterbatasan layanan dan akses.
Penny
Williams PSM mengapresiasi upaya-upaya yang dilakukan Komnas Perempuan dalam
menjunjung tinggi hak-hak perempuan serta menyoroti isu kekerasan berbasis
gender dan ketangguhan perempuan selama masa pandemic Covid-19. AIPJ bekerja di
Indonesia Timur untuk memperkuat kapasitas pendampingan warga dengan mendorong
peningkatan sistem pelayanan dalam membantu korban kekerasan dan perlindungan
sosial bagi korban melalui sistem hukum yang lebih adil.
Selain
itu, I Gusti Ayu Bintang selaku menteri PPPA turut menyampaikan apresiasi pada
Komnas Perempuan dan AIPJ selaku inisiator acara. Merespon tingginya tingkat
perkawinan anak di Indonesia, beliau menegaskan untuk tidak menjadikan budaya
sebagai alasan untuk mendiskriminasi perempuan. Kemudian, beliau mengajak
seluruh elemen masyarakat untuk saling bersinergi, berkolaborasi dan melakukan
kerja nyata menuju perempuan Indonesia Timur yang tangguh, mandiri, dan
berdaya.
Agnes
L. S Fobia sebagai perwakilan dari Dinas PPPA Pemda Kab Timur Tengah Selatan menyampaikan,
selama masa pandemi Covid-19 banyak tantangan serta hambatan dalam proses
penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya di wilayah Indonesia
Timur. Tantangan dalam pelaksanaan pendampingan selama masa pandemi di Nusa
Tenggara Timur (NTT) adalah keterbatasan akses komunikasi pendampingan secara
daring, sehingga butuh waktu dan perlu dilakukan secara langsung. Hal serupa
disampaikan oleh Baihajar Tualeka (PPHAM) bahwa situasi geografis di Maluku
menjadi salah satu tantangan karena infrastruktur dan fasilitas kesehatan yang
belum merata dan terbatasnya transportasi publik untuk menjangkau korban ke
daerah terpencil.
Selain
dari problematika keterbatasan fasilitas kesehatan, disampaikan oleh Latifa (Komunitas
Perempuan Inisiator Rumah Aman Berbasis Komunitas) bahwa pasca bencana di Palu
tahun 2018, terdapat keterbatasan daya tampung Rumah Aman maupun pengada
layanan. Namun, komunitas berhasil menyediakan sebanyak tiga Rumah Aman, tetapi
ini masih kurang mengakomodir peningkatan laporan kasus kekerasan di Palu selama
pandemi Covid-19. Kemudian tantangan lainnya diterangkan oleh Rezky Pratiwi
bahwa LBH Makassar menghadapi kendala terbatasnya sumber daya manusia untuk
menangani kasus kekerasan. Di Sulawesi Selatan hanya terdapat 20 organisasi
bantuan hukum yang telah terakreditasi dan belum seluruhnya memiliki kapasitas
pendampingan korban kekerasan. Keterbatasan layanan bantuan hukum serta aspek
budaya menghambat proses penanganan kasus korban menuju pengadilan.
Lebih
lanjut, Pdt. Sheily F.A Parinussa/Siagian (Pendamping Perempuan Disabilitas
Korban Kekarasan - HWDI, Papua Barat) mengatakan keterbatasan penanganan kasus
pun dialami oleh perempuan disabilitas. Selama pandemi Covid-19 ini belum
efektifnya penjalanan PPDI serta terdapat penurunan jumlah lembaga penanganan
disabilitas di Papua Barat. Kurangnya kepastian hukum menjadi salah satu hambatan
dalam mengurangi objektifikasi pada perempuan disabilitas.
Dalam
tenggapannya, Kompol. Ema Rahmawati, S.I.K (Komisaris Polisi Kanit 3, Subdit 5,
Tipidum Bareskrim Polri) menyampaikan bahwa pihaknya berupaya untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam penanganan kasus kekerasan. Mengupayakan penyusunan
peraturan Kabareskrim tentang proses penyelidikan yang menciptakan jalur satu
pintu tindak pidana terkait perempuan dan anak. Keterbatasan sumber daya
manusia baik penyidik, pendamping, maupun sarana prasarana seperti Rumah Aman
pun dialami. Ema menegaskan, pada tahun 2022 akan dibangun 4 Ruang Pelayanan
Khusus di Sulawesi Utara, Papua Barat, Maluku Utara, dan Sulawesi Barat. Selain
itu dalam menangani reviktimisasi oleh aparat penegak hukum. Ema menuturkan
bahwa akan ditambahkan pemahaman sensitivitas gender serta pengetahuan lebih
dalam tentang penanganan korban disabilitas pada kurikulum pelatihan bagi
penyidik PPA.
Siti
Ruhaini Dzuhayatin (Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden) memastikan bahwa
KSP memiliki satu koordinasi yang terintegrasi antara kementerian dan lembaga
terkait. Dalam kolaborasi KSP dengan kementerian dan lembaga telah menghasilkan
gugus tugas dalam mendorong terciptanya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual yang akan menjadi sebuah instrument
bagi pemerintah, kepolisian, kejaksanaan, dan KL untuk dapat melakukan proses
pencegahan, penanganan, pemulihan, dan pidana sehingga tindak kekerasan tidak
terulang. Dati Fatimah (Konsultan AIPJ2) menambahkan bahwa Komnas Perempuan
melihat pentingnya upaya untuk mencatat dan mengisi upaya-upaya inisiatif yang
menunjukkan kelentingan atau resilience
dari perempuan juga menjadi bagian dalam upaya penanganan. Karena itu Komnas
Perempuan telah melakukan banyak kajian yang kemudian dengan dukungan dari AIPJ
2 dikembangkan menjadi beberapa produk pengetahuan seperti buku.
Retty
Ratnawati (Komisioner Komnas Perempuan) merangkum hasil diskusi sebagai catatan
akhir dalam kegiatan diskusi hari ini. Di dalam penanganan perlindungan bagi
korban terutama pada korban di kawasan dengan akses terbatas perlu digalakkan.
Pelaku kekerasan sering kali adalah orang terdekat, bisa terjadi di rumah,
sekolah, tempat kerja ataupun fasilitas umum. Dalam penanganan kasusnya,
terbatasnya respon dan layanan bagi korban dengan tantangan terisolasi di
kawasan terpencil. Inisiatif-inisiatif perlindungan korban yang dikembangkan
oleh pemerintah juga unsur masyarakat, organisasi-organisasi kampus dalam
mendorong perlindungan korban. Upaya lembaga membangun sistem pelayanan terpadu
korban perlu diapresiasi dan diperkuat. Layanan bantuan hukum misalnya yang berbasis
pada kepulauan dan pendataan kasus dan lain-lain adalah tentang perlindungan
bagi korban masih banyak tantangan politik, sosial dan layanan bagi korban
secara daring di wilayah Timur Indonesia. Keterbatasan infrastruktur teknologi
komunikasi, kelambanan penanganan perlindungan bagi korban membawa dampak yang
fatal terutama pada korban di wilayah akses terbatas. Kurangnya sistem terpadu layanan
bagi korban untuk melakukan sistem pelayanan secara daring di Indonesia Timur
diperlukan penguatan sistem rujukan yang terintegrasi antara inisiatif
komunitas dan aparat penegak hukum untuk meningkatkan layanan penanganan kasus,
pemulihan, dan pencegahan.