Bulan Februari 2023 merupakan tenggat penyerahan naskah adopsi 269 rekomendasi 108 negara peserta Sidang Siklus IV Universal Periodic Review (yang oleh Kementerian Luar Negeri - Republik Indonesia kemudian diperbarui menjadi 259 rekomendasi). Pada Maret 2023, Pemerintah RI akan menyampaikan secara resmi pengadopsian 259 rekomendasi tersebut.
Komnas Perempuan pada dasarnya mendorong pemerinrah RI agar mengadopsi sebanyak-banyaknya rekomendasi-rekomendasi tersebut, dan meminta perhatian khusus pada isu-isu terkait pemenuhan dan pemajuan hak-hak perempuan dan anak perempuan termasuk perempuan disabilitas, lansia, perempuan adat, minoritas seksual, perempuan dengan AIDS/HIV, dan minoritas agama.
Pertemuan dengan Menlu Retno Marsudi pada Jumat (17/2/2023) dimaksudkan untuk meminta perhatian khusus dari Pemerintah RI terhadap isu-isu perempuan yang direkomendasi negara peserta Siklus 4 Universal Periodic Review.
Komnas Perempuan menyampaikan, apresiasi kepada Pemerintah RI yang telah melibatkan lembaga-lembaga nasional HAM dan organisasi-organisasi masyarakat sipil dalam proses pengadopsian. Komnas Perempuan telah menghadiri dialog konstruktif di Kementerian Luar Negeri terkait isu-isu yang perlu mendapat perhatian khusus pada 18 Januari 2023.
Selain menyampaikan isu-isu yang diharapkan diadopsi Pemerintah RI, Komnas Perempuan juga mendorong penghapusan peraturan daerah (perda) diskriminatif yang menyasar tubuh perempuan. Rekomendasi dari negara peserta UPR Siklus IV terkait penghapusan peraturan/kebijakan diskriminatif termasuk memastikan kebebasan beragama, tergolong banyak. Dalam Sidang Siklus IV UPR di Jenewa, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyampaikan secara terbuka apresiasi terhadap Komnas Perempuan yang terus memantau dan mengadvokasi perda-perda diskriminatif. Terdapat 62 perda diskriminatif yang mengontrol tubuh perempuan. Perda-perda tersebut dikeluarkan oleh pemerintah-pemerintah daerah dan bertentangan dengan Konstitusi RI. Di samping perda-perda diskriminatif, Komnas Perempuan juga mendorong perhatian khusus pada qanun jinayat di Aceh di antaranya hak perempuan korban atas keadilan seperti hukuman cambuk dan kerentanan perempuan dalam hubungan seksual pasangan intim. Perkawinan antar agama yang rentan mendiskriminasi perempuan juga menjadi bahan diskusi dalam kerangka hak-hak konstiusional dan standar HAM internasional.
Komnas Perempuan juga menyampaikan kepada Menlu Retno tentang kondisi buruk kehidupan perempuan dan anak-anak akibat konflik bersenjata di Myanmar termasuk pelanggaran-pelanggaran HAM perempuan yang semakin masif. Hal ini sangat penting mengingat kepemimpinan Indonesia di ASEAN.
Isu-isu lain dalam perbincangan yang diharapkan mendapat perhatian khusus adalah, masalah Papua, kebebasan berserikat dan berpendapat yang semakin menyempit sehingga terjadi regresi demokrasi, hak-hak kelompok rentan (minoritas seksual, disabilitas, lansia, ODHA/HIV, masyarakat adat dan minoritas agama), perempuan pekerja migran di manca negara, kasus Mary Jane Velosso, penyelesaian kekerasan seksual berbasis gender melalui mekanisme adat/sosial (restorative justice), konflik dan bencana. Komnas Perempuan juga menyampaikan, sejumlah instrumen HAM internasional direkomendasikan berulang dan perlu diadopsi oleh Pemerintah RI.
Pertemuan tersebut dihadiri oleh tiga komisioner Komnas Perempuan yakni Andy Yentriyani (Ketua Komnas Perempuan), Rainy Hutabarat dan Theresia Iswarini; Badan Pekerja Komnas Perempuan Sondang Frishka, dan Rita Kolibonso mewakili oganisasi masyarakat sipil.