Satu setengah tahun usai ditetapkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Komnas Perempuan terus mendorong agar implementasinya segera dilakukan. Melalui Seminar Publik Tantangan dan Peluang Pelaksanaan UU TPKS pada 6 Desember 2023, di Jakarta, Komnas Perempuan mengajak berbagai pihak khususnya media untuk menyuarakan pentingnya upaya-upaya percepatan pengimplementasian, sekaligus menyebarkan informasi untuk membangun pemahaman publik tentang UU TPKS.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani dalam sambutannya menyampaikan masih terdapat berbagai hambatan dalam proses pelaksanaan UU TPKS, salah satunya dalam upaya menghadirkan aturan turunan yang berpengaruh penanganan hukum.
“Perlunya transformasi hukum untuk memastikan terputusnya impunitas pelaku, memulihkan hak-hak korban dan mengupayakan pencegahan, termasuk dengan mendorong agar implementasi UU TPKS dapat menghadirkan kebenaran, keadilan dan pemulihan hingga pencegahan keberulangan kekerasan seksual melalui aturan turunan UU TPKS.” tutur Andy Yentriyani di kantor Komnas Perempuan.
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat yang menjadi narasumber dalam seminar menyebutkan hambatan struktural yang dihadapi dalam penanganan kasus. Hingga saat ini adalah masih belum terdapatnya pemahaman memadai terkait UU TPKS, sehingga terdapat ill treatment hingga pengabaian akses keadilan terhadap korban, seperti berdasarkan temuan Komnas Perempuan, yakni pada kasus-kasus pemerkosaan, korban seringkali belum mendapatkan hak atas aborsi aman, terjadinya penghentian kasus, tidak dilibatkannya keluarga korban, kurangnya koordinasi lintas dinas hingga tidak adanya pemulihan komprehensif.
“Perlunya mengidentifikasi berbagai bentuk ill treatment hingga pelanggaran HAM, memetakan aktor, serta menguatkan penanganan dan pemulihan demi keadilan bagi korban” tutur Rainy Hutabarat, yang juga merupakan perwakilan perempuan disabilitas.
Sejak tahun 2005, Komnas Perempuan membangun konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) demi terciptanya akses bagi perempuan berhadapan dengan hukum (PBH), khususnya korban kekerasan berbasis gender dalam setiap proses peradilan dan pemulihan yang dijamin melalui terobosan hukum UU TPKS karena memperkuat pemenuhan hak-hak korban, baik hak atas perlindungan, pemulihan, hingga hak keluarga korban.
Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi memaparkan tantangan yang dihadapi adalah belum siapnya semua wilayah terkait kebutuhan penanganan dan pemulihan korban, baik dikarenakan kompetensi sumber daya manusia, sarana dan prasarana hingga anggaran.
“Kekerasan seksual yang tidak ditangani dengan baik dan korban menjadi PBH merupakan bentuk kegagalan negara dalam penanganan kekerasan seksual, baik dikarenakan absennya akses keadilan, akses layanan aborsi aman hingga layanan pemulihan” tegas Siti Aminah
Media dan Kerja Sinergis Pendidikan Publik
Dalam upaya membangun pemahaman tentang UU TPKS untuk mendorong perubahan sosial yang mendukung perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, kerja-kerja pendidikan publik mesti dilakukan secara sinergis. Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu dalam pandangannya menyebut bahwa pers berperan penting dalam informasi hingga kontrol sosial, termasuk terkait pemberitaan kasus kekerasan seksual.
Namun faktanya justru berkebalikan. Berdasarkan temuan Dewan Pers tahun 2020-2022, terungkap masih banyak pemberitaan media tentang kekerasan seksual yang belum mencerminkan perspektif perlindungan korban dan responsif gender, sehingga dalam upaya sinergisnya, Dewan Pers tengah berencana membentuk pedoman pemberitaan berperspektif gender.
“Perlunya kolaborasi multistakeholders demi percepatan implementasi UU TPKS termasuk melalui peningkatan peran organisasi/lembaga masyarakat sebagai pemantau pers hingga membangun kerjasama dengan perusahaan pers untuk peningkatan kontrol sosial dalam pemberitaaan TPKS.” jelas Ninik.
Selain dari Dewan Pers, Asfinawati sebagai perwakilan dari Jentera perjalanan masih panjang dalam membuat publik memahami terkait UU TPKS, termasuk kebutuhan bagi para pembela HAM untuk memberikan makna dalam UU TPKS, dalam artian dalam perjalanan implementasi UU TPKS diharapkan penafsirannya tidak bertentangan dengan amanat undang-undang itu sendiri, sehingga peran para pembela HAM menjadi penting dalam melakukan pemantauan terhadap implementasi pasal-pasal yang terdapat pada UU TPKS.
“Pada akhirnya, pemantauan terhadap UU TPKS perlu dilakukan secara mendalam demi tercapainya tujua penghapusan TPKS” ujarnya dalam akhir pemaparan.