“Memperkuat Solidaritas dan Pelindungan Perempuan Pembela HAM”
Jakarta, 29 November 2024
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berpandangan bahwa kepemimpinan baru Indonesia akan berpengaruh pada kerja-kerja perempuan pembela hak asasi manusia (PPHAM) dalam 5 (lima) tahun ke depan. Komnas Perempuan menggarisbawahi mendesaknya upaya pelindungan oleh Negara terhadap mereka serta menekankan pentingnya solidaritas antar PPHAM lintas negara termasuk di kawasan ASEAN untuk membangun fondasi perjuangan HAM yang lebih kokoh. Solidaritas lintas negara ini semakin penting mengingat meningkatnya risiko kekerasan terhadap PPHAM di kawasan ASEAN.
“Berbagai tantangan masih akan terus membayangi PPHAM di Indonesia untuk isu kekerasan terhadap perempuan, isu sumber daya alam dan lingkungan, isu kebebasan berekspresi, perempuan jurnalis, perempuan dengan disabilitas, isu minoritas gender dan seksual serta isu lainnya termasuk di Papua,” kata Komisioner Theresia Iswarini, Ketua Subkom Pengembangan Sistem Pemulihan Komnas Perempuan.
“Minimnya kebijakan perlindungan terhadap kerja-kerja pembela HAM termasuk belum diakuinya kerja-kerja PPHAM tersebut merupakan salah satu faktor penyebabnya,” tambahnya.
Data ini berbasis pada catatan tahunan Komnas Perempuan terhadap 89 (delapan puluh sembilan) kasus kekerasan terhadap PPHAM yang diperoleh dari pengaduan langsung maupun dari mitra lembaga layanan dalam kurun waktu 2019-2023. Serangan terbanyak dialami PPHAM pada kelompok isu kekerasan terhadap perempuan dengan jumlah 71 (tujuh puluh satu) kasus. Sementara pada urutan kedua serangan terbanyak dialami oleh PPHAM pada isu lingkungan dan sumber daya alam (SDA) dengan jumlah 8 (delapan) kasus.
Komnas Perempuan mengamati serangan terhadap PPHAM kerap diiringi upaya delegitimasi, baik melalui ancaman berbasis gender maupun kriminalisasi.
“Kekerasan yang dialami PPHAM sering kali bersifat sistematis, dan bertujuan untuk membungkam suara perempuan yang memperjuangkan kebenaran. Ada upaya delegitimasi terhadap PPHAM baik melalui ancaman yang menyasar tubuh dan seksualitasnya sebagai perempuan, maupun melalui upaya kriminalisasi. Dari catatan kekerasan yang dialami PPHAM pada tahun 2020 hingga 2023, tercatat ada 4 (empat) kasus yang merupakan kasus kriminalisasi. Selain PPHAM, keluarganya juga berpotensi menjadi sasaran kekerasan, diskriminasi dan kriminalisasi, ” tambah Komisioner Veryanto Sitohang, Ketua Subkom Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan.
Situasi yang sama sesungguhnya juga dialami oleh para PPHAM di kawasan ASEAN lainnya, meski ASEAN Human Rights Declaration (Deklarasi HAM ASEAN) telah disahkan pada 2012. Deklarasi HAM ASEAN tersebut menggarisbawahi komitmen negara-negara ASEAN untuk melindungi hak-hak dasar, seperti kebebasan dan keamanan pribadi (Pasal 12), kebebasan berekspresi (Pasal 23), dan hak atas pembangunan yang adil (Pasal 35), pelaksanaan komitmen ini masih jauh dari harapan.
Di Filipina misalnya, pembela HAM lingkungan menghadapi ancaman serius, termasuk ancaman nyawa. Pada 2020, sebanyak 29 aktivis tewas akibat penolakan mereka terhadap eksploitasi sumber daya alam (Halim: 2021). Sementara di Myanmar, situasi semakin memprihatinkan sejak kudeta militer 2021. Lima aktivis perempuan yang memperjuangkan demokrasi ditangkap dan mengalami penyiksaan, pelecehan, bahkan ancaman perkosaan di dalam penjara (Owen & Ko Ko Aung: 2021). Kasus ini menunjukkan komitmen negara-negara ASEAN dalam menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia sebagaimana tercantum dalam deklarasi HAM ASEAN perlu ditinjau ulang. Pembangunan yang masif tanpa kajian berbasis HAM dan keadilan gender tampaknya juga menjadi ruang kekerasan terhadap PPHAM.
“Pasal 35 dalam deklarasi HAM ASEAN menyatakan bahwa pembangunan tidak boleh digunakan sebagai pembenaran untuk pelanggaran hak asasi manusia. Pembangunan yang berkelanjutan di ASEAN harus berbasis pada penghormatan terhadap HAM. Namun, pembela HAM sering kali dipaksa berhadapan dengan kebijakan pembangunan yang mengabaikan hak-hak mereka,” ujar Tiasri Wiandani, Komisioner Komnas Perempuan.
Komnas Perempuan pada Peringatan Hari PPHAM Internasional tahun 2024 ini menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Perempuan Pembela HAM: Meneguhkan Solidaritas dan Gerakan Perempuan di ASEAN”pada 28 November 2024. Diskusi publik ini merupakan kolaborasi Komnas Perempuan bersama organisasi masyarakat sipil yaitu KEMITRAAN, KAPAL Perempuan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Yayasan Pupa Bengkulu, Elsham Papua, IProtect Now, Koalisi Perempuan Indonesia, Solidaritas Perempuan, International Media Support, dan Mama Aleta Fund.
“Diskusi publik ini, juga merupakan bagian dari peringatan16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Kampanye ini untuk memastikan terciptanya dan terus berkelanjutannya upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan,” ujar Andy Yentriyani Ketua Komnas Perempuan, saat memberi sambutan pada kegiatan tersebut.
Andy mengatakan bahwa tujuan diskusi ini juga untuk merespons situasi kekinian yang potensial memengaruhi kerja-kerja para perempuan pembela HAM termasuk mengenali serangan dan kekerasan baru yang terjadi.
“Ruang diskusi ini menjadi momen strategis untuk menyuarakan pentingnya pelindungan dan peneguhan solidaritas bagi PPHAM di Indonesia dan Asia Tenggara termasuk di wilayah-wilayah konflik,” pungkas Andy.
Komnas Perempuan berharap, Pemerintah Republik Indonesia memberikan perlindungan terhadap PPHAM. Solidaritas antar PPHAM di ASEAN tidak hanya penting untuk memberikan dukungan moral dan pelindungan, tetapi juga menciptakan gerakan kolektif yang lebih besar. Kerja kolektif lintas negara diharapkan dapat menjadi benteng melawan berbagai ancaman, baik dari aktor negara maupun non-negara. Kekuatan solidaritas juga membuka kesempatan yang lebih besar pada visibilitas internasional atas kasus-kasus pelanggaran yang dihadapi PPHAM di kawasan ASEAN.
Narahubung: Elsa Faturahmah (081389371400)