Jumat, 23 September 2022, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komisi Nasional Disabilitas (KND) berdiskusi dengan Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) terkait perumusan konsepsi RPP Koordinasi dan Pemantauan yang dimandatkan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
UU TPKS yang disahkan pada 9 Mei 2022, memberikan mandat untuk pembentukan 10 peraturan pelaksana yang terdiri dari 5 Peraturan Pemerintah dan 5 Peraturan Presiden. Salah satu Peraturan Pemerintah yang menjadi perhatian Komnas Perempuan, Komnas HAM, KPAI, dan KND sebagai Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (LNHAM) adalah PP Koordinasi dan Pemantauan. Dalam Pasal 83 disebutkan bahwa perlu adanya koordinasi dan pemantauan untuk mewujudkan efektivitas pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual. Menteri dalam hal ini KPPPA diberikan mandat untuk melakukan koordinasi dan pemantauan secara lintas sektor dengan kementerian/lembaga terkait. Kemudian Gubernur dan Bupati/Wali Kota melakukan koordinasi dan pemantauan di tingkat daerah. Selanjutnya, lembaga nasional hak asasi manusia yang terdiri dari Komnas Perempuan, Komnas HAM, KPAI, KND, dan masyarakat diberikan mandat untuk melakukan pemantauan.
Selama bulan Juni-Agustus 2022, Komnas HAM, Komnas Perempuan,KPAI dan KND telah mengadakan diskusi intensif dalam rangka memberikan saran dan masukan terhadap tujuan, prinsip, ruang lingkup, objek, dan mekanisme kerja koordinasi dan pemantauan atas tindak pidana kekerasan seksual yang dikoordinasikan oleh Komnas Perempuan. Hasil diskusi tersebut menghasilkan pokok-pokok pikiran dan draf RPP Koordinasi dan Pemantauan yang telah disampaikan kepada pemerintah, dalam hal ini Deputi Perlindungan Khusus Anak (PKA) sebagai penanggung jawab penyusunan PP Koordinasi dan Pemantauan di internal KPPPA.
Dalam forum diskusi ini, Budi Mardaya (Asisten Deputi Perumusan Kebijakan PKA KPPPA) menyatakan bahwa masukan dari lembaga nasional hak asasi manusia telah diadopsi sebagian dalam naskah konsepsi yang disusun oleh KPPPA. Sementara itu, sebagian masukan yang belum diadopsi perlu didiskusikan bersama kembali. PP Koordinasi dan Pemantauan sendiri telah didaftarkan dalam Program Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (Progsun) Tahun 2023.
Dalam diskusi ini, Siti Aminah Tardi (Komisioner Komnas Perempuan) menyampaikan bahwa perlu dibedakan pemantauan yang dilakukan oleh Menteri dengan pemantauan yang dilakukan oleh lembaga nasional hak asasi manusia. Hal ini merujuk pada dasar pembentukannya da. Fungsi pemantauan eksternal yang bersifat imparsial sehingga tidak bisa disatukan mekanisme kerja pemantauannya dengan lembaga eksekutif. Hal ini juga sebagai upaya untuk menghasilkan rekomendasi pemantauan yang objektif. Lebih jauh, Siti Aminah mengatakan bahwa dari draf RPP yang disusun KPPPA perlu dilengkapi dengan prinsip-prinsip dalam melakukan pemantauan yang diusulkan yakni; a) pengutamaan kepentingan korban; b) menggunakan perspektif HAM; c) kepentingan terbaik bagi anak; d) akuntabilitas, kredibilitas, kerahasiaan, akurasi dan objektivitas data; e) kerjasama dengan berbagai pihak; f) imparsial; dan g) menyediakan akomodasi dan aksesibilitas yang layak bagi penyandang disabilitas.
Hal tersebut diperkuat oleh Putu Elvina (Komisioner KPAI) yang mengatakan bahwa dalam PP Koordinasi dan Pemantauan perlu diperlihatkan perbedaan antara pemantauan yang dilakukan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Wali kota dengan pemantauan yang dilakukan oleh lembaga nasional hak asasi manusia. PP Koordinasi dan Pemantauan penting menegaskan bahwa mekanisme dan instrumen pemantauan yang dilakukan lembaga nasional hak asasi manusia harus terpisah sendiri. Kemudian, dari hasil pemantauan yang dilakukan (secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama) disusun sebuah rekomendasi yang menjadi bahan pertimbangan Menteri untuk mendorong terwujudnya efektivitas pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual.
Selanjutnya, Rachmita Maun Harahap (Komisioner KND) menambahkan bahwa dalam proses pemantauan nantinya perlu dilihat dan dievaluasi bagaimana penyediaan akomodasi yang layak dalam penanganan kasus tindak pidana kekerasan seksual. Rachmita mengatakan bahwa banyak kasus di lapangan korban kekerasan seksual dengan disabilitas mengalami hambatan dan kesulitan dalam hal akses.
Dalam forum diskusi ini, Komnas HAM,Komnas Perempuan, KPAI dan KND serta KPPPA memiliki pandangan yang sama bahwa dalam melakukan Pemantauan, Menteri, Gubernur dan Bupati/Wali kota, Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, dan KND dapat melibatkan masyarakat.
Selanjutnya, Agung (Biro Hukum KPPPA) mengatakan bahwa akan ada proses pertemuan selanjutnya dengan tim perumus sehingga dapat menemui kesepahaman bersama. Ia berharap lembaga nasional hak asasi manusia dapat berpartisipasi dalam perumusan RPP Koordinasi dan Pemantauan khususnya dalam pembahasan pasal per pasal dan substansi kunci yang perlu diatur. Dengan demikian efektivitas pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual dapat terwujud.
Lebih jauh, dokumen Pokok-Pokok Pikiran dan Draf RPP Koordinasi dan Pemantauan yang disusun dan diusulkan oleh LNHAM dapat dilihat dan diunduh melalui tautan berikut: https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/pokok-pokok-pikiran-penyelenggaraan-koordinasi-dan-pemantauan-terhadap-pencegahan-dan-penanganan-tindak-pidana-kekerasan-seksual.